2030
Ketika langit mulai berubah, warna jingga bergelut dengan intimnya dan merona. Aruna Dalarai duduk meringkuk di atap rumah lantai dua depan jendela kamar. Matanya jernih dan menatap tajam kedepan, meskipun pikirannya menembus dimensi masa lalu. Dirumah kayu geometris mewah milik ayahnya yang terletak di ujung kota. Saat Itu usianya 18 tahun, dan disitulah awal dari semuanya.
"Mahiya, perempuan berusia 29 tahun, tingginya kira kira 158cm dilihat dari ukuran ketika ia berdiri di pintu rumahku dengan tinggi 2 meter.
Rambutnya hitam ,tebal, lurus, dan panjang melewati bahu. Ia memiliki mata sedikit lebar, dengan lensa mata bewarna abu abu. Kulitnya putih, dan lekuk tubuhnya menyerupai jam pasir. Mahiya adalah perempuan keturunan celtic.
Mahiya adalah pembantu rumah tangga orang tuaku, dia datang satu hari setelah ulang tahunku yang ke 18, menggantikan bibi penny yang memutuskan berhenti ,setelah mengabdi lama sejak ayahku masih sekolah.
Awalnya semua baik baik saja, semua berjalan seperti biasanya. Aku bangun pagi, ibu dan ayahku sudah siap di meja makan untuk bersama sama sarapan, dan mahiya juga menggantikan tugas bibi penny untuk memasak dan menyiapkan makanan di meja. Ayahku selalu disiplin soal waktu. Tepat pukul 6.30 pagi makan pagi sudah harus siap. Aku, dan ibuku sudah harus rapi berada di meja makan.
Saat itu aku masih dirumah mempersiapkan segala keperluan untuk aku melanjutkan kuliahku di luar kota, sedangkan ibuku harus sudah berangkat bekerja. Dia bekerja sebagai pegawai sipil di kota, dan ayahku menjalankan usahanya dirumah. Dia berbisnis kayu, biasanya para pemborong yang datang kerumah soal itu.
Di sudut ruang keluarga ada piano, disana biasa ayahku memainkan jarinya dengan elegan dan mengajariku untuk bisa menguasai piano dan menjadi lebih hebat dari dia. Di sebelah piano, ayahku menaruh kursi sofa dan kursi kayu jati berjejer, jika dilihat itu terlihat sangat tidak cocok, tapi ayahku berkata biarkan itu berbaur untuk mencoba menjadi perhatian dalam ilmu seni. Saat dirumah biasanya aku lebih suka berada di kamarku, menonton tv, menonton film, membaca buku, semua kulakukan di kamarku.
Tapi saat itu aku merasa bosan, karena sudah 3 minggu sekolahku selesai dan lama aku tidak bertemu dengan teman-temanku. Aku keluar dari kamarku, ingin mencari udara segar di ruang keluarga, atau mungkin di halaman depan rumah, melihat bunga bunga yang dirawat oleh ibuku. Tapi, belum sampai aku diruang keluarga, aku melihat ayahku berada di sofa belakang piano, hanya kakinya yang terlihat, dan ternyata bukan kakinya saja, tapi kaki seorang wanita. Yaa, Kulihat ayahku sedang bercinta dengan seorang wanita yang memiliki tubuh sempurna dibalik piano. Dan dia adalah Mahiya. Pembantu rumah tangga baru keluarga kami."
Ansel finn duduk terpaku mendengar cerita Aruna, hingga nafas kedinginan karena udara saat itu tak terdengar, sunyi, suara aruna yang bercerita lirih pun seakan akan terdengar nyaring.
"Aku merasa takut setelahnya, bahkan aku tidak berani mengatakannya pada ibuku, aku memilih diam di kamar, keesokan paginya aku tidak turut serta dalam kebiasaan sarapan pagi, aku berkata pada ibuku kalau aku merasa tidak enak badan dan butuh bangun lebih siang. Dan aku menyesal melakukan itu, karena itu hari terakhir aku bertemu ibuku, didepan pintu kamarku, 6 tahun yang lalu.
Setelah kejadian siang itu, Ayahku tidak berbicara padaku, bahkan saat pagi dia tidak ikut mencariku kenapa aku tidak turun dari kamar untuk sarapan. Mahiya yang tiba-tiba mengetuk pintu kamarku, dan masuk tanpa meminta ijinku. Dia mendekatiku, dan berbicara kepadaku seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Dia berkata bahwa ayah memintanya menemaniku untuk ke universitas mengumpulkan berkas hari itu. Tidak satu kata pun yang bisa kuucapkan, untuk berdiri saja aku bagai kehilangan tulang, mengingat apa yang aku lihat siang itu. Hingga aku tidak sadar mahiya sudah mempersiapkan tas ransel besar untukku. Bahkan aku tidak sadar dan tidak bertanya untuk apa aku membawa barang sebanyak itu, padahal hanya ke universitas untuk mempersiapkan diriku sebagai mahasiswa baru.
Untuk mencapai universitas perlu waktu 3 jam dari tempat aku tinggal, memang rencananya aku akan tinggal di asrama dengan teman teman baruku. Tapi, bukan saat itu juga.
Cara mahiya mengendarai mobil seperti sudah lama berada dirumahku, dan aku pergi tanpa berpamitan dengan ayahku, sepertinya dia juga memilih untuk tidak muncul dihadapanku saat itu.
Satu setengah jam dijalan, mahiya berbelok ke arah yang aku tidak tahu itu kemana, aku hanya diam saja karena aku masih marah tapi linglung. Aku hanya berpikir mungkin dia ada urusan sendiri. Setelah itu kita sampai disebuah stasiun tua, bahkan aku baru tahu bahwa ada stasiun di ujung kota. Stasiun kecil dengan dominan cat warna hijau dengan pilar pilar kecil dari kayu, mataku berjalan jalan, tapi aku tidak menemukan papan atau apapun yang bertuliskan nama stasiun itu. Mahiya memintaku mengikutinya. Entahlah, apa yang dia katakan aku selalu mengikutinya, hingga berhenti di peron nomor 2, karena sepertinya disitu hanya ada 2 peron.
Kereta dengan gerbong yang tak terlihat ujungnya, mahiya menggandengku masuk ke gerbong warna merah, dan duduk di deretan kursi nomor 8 yang kurasa seempuk aku duduk di sofa kamar ibuku. Aku melihat keluar jendela, bertanya tanya stasiun macam apa kala itu, aku berpikir apakah ini jalan lain yang lebih cepat menuju ke universitas. Dan ketika aku menengok ke hadapan mahiya untuk bertanya, dia sudah tidak ada. Kereta sudah melaju."
"Aku menangis di dalam kereta, berpikir ingin melompat keluar gerbong, tapi kereta bagai melaju dengan sangat cepat sehingga tak lagi terlihat apa yang ada diluar. mahiya meninggalkan tas ransel bersamaku, ketika ku buka tampaknya dia sudah menyiapkan ini semua untuk aku pergi, membawakan aku banyak baju ganti, dan uang tunai didalam dompet, yang aku kira itu uang permainan monopoli karena aku baru mengenal rupanya.
Aku meraih telepon genggamku, tapi layar tidak menunjukkan ada sinyal disitu.
Aku menangis dan meminta tolong orang orang yang ada di gerbong, tetapi hanya sedikit orang disitu dan merekapun tidak banyak berkata, hanya bisa menatap seakan sedang tidak terjadi apa-apa.
Aku merasa bagai roh tak terlihat yang sedang terjebak di alam lain.
Hingga akhirnya kereta berhenti di stasiun pertama. Melihat orang-orang di gerbong turun di stasiun itu, akupun ikut turun. Berharap bisa kembali ke stasiun dimana mahiya meninggalkanku.
Bersambung...